Tempat Tinggal Manusia Raksasa
Wisata air
terjun ‘tujuh tingkat’ Gurong Maloh terletak di Dusun Malan 1, Desa Kedukul,
Kecamatan Mukok, Kabupaten Sanggau. Dulunya bernama Gurong Macan dan kemudian
berganti nama. Tempat itu dulunya ditempati oleh binatang yang disebut Macan
(bukan harimau) dan sepasang Gegasi (seperti manusia raksasa). Ceritanya
sendiri sempat terbukukan, sebelum akhirnya buku itu musnah akibat terjadinya
kebakaran.
Gerbang Menuju Air Terjun Gurong Maloh |
Raganayam dan
Runti, dua manusia raksasa pasangan suami istri ini
dipercaya tinggal lokasi tersebut.
Pondoknya berada diantara tingkat keenam dan ketujuh air terjun tersebut.
Sempat ditemukan jejak kaki berukuran sangat besar yang diduga milik mereka
dibebatuan sepanjang aliran air. Konon, mereka punya keturunan yang diberi nama
Putri Gemiluh.
Penuturan para
tetua di kampung Malan 1, air terjun itu memang awalnya bernama Gurong Macan. Itu
karena adanya sosok binatang Macan (bukan harimau) yang jika dilihat dari depan
hanya selebar daun ilalang. Namun, saat dilihat dari samping, ukurannya sebesar
sapi. Perubahan nama tempat itu sendiri berkaitan dengan kisah pasangan gegasi
yang meninggali tempat itu.
Cerita mengenai
dua Gegasi ini sebelumnya tertulis dalam buku cerita rakyat yang ditulis oleh nenek
moyang tetua kampung setempat beberapa ratus tahun lalu. Tulisannya masih
menggunakan huruf arab. Dulunya, buku ini menjadi cerita dan dongeng orang tua
kepada anaknya. Dan terus diceritakan turun temurun. Sayang, api telah
memusnahkan peninggalan cerita satu-satunya ini.
Menyeberangi sungai |
Penasaran dengan
ceritanya, pagi-pagi sekali, itu hari Minggu, saya berangkat menuju Dusun Malan
1 sekira setengah jam dari Kota Sanggau. Kepala Dusun setempat, Apit Susanto akan
memandu perjalanan saya menuju lokasi air terjun. Perjuangan menuju kesana
sangat sulit karena medannya cukup berat. Bahkan saya ‘nyaris’ dibuat menyerah. Setelah hampir
satu tengah jam perjalanan, saya sampai disana.
Tempatnya membuat takjub. Meski
lelah, saya dan beberapa orang warga setempat yang menemani perjalanan kali ini
terus menaiki bukit sampai ke tingkat paling atas atau ke tingkat tujuh.
Selama kurang
lebih enam jam dilokasi, kami akhirnya kembali ke Dusun Malan 1. Disana saya
sudah ditunggu oleh dua orang tetua kampung. Mereka adalah Pak Dandan, usianya
kini 77 tahun dan Pak Pance, usianya sekira 60 tahun.
Pak Dandan
adalah salah satu tetua yang pernah melihat langsung buku cerita karangan nenek
moyangnya itu. Kisah Raganayam dan Runti memang secara turun temurun (pada masa
kecilnya) menjadi bagian dari cerita orang tuanya. Dia sendiri masih sangat
lekat dengan ceritanya. Meski tak mampu lagi mengingat cerita lengkapnya, namun
secara garis besar dia masih sanggup menceritakannya dengan bahasa melayu
penduduk setempat.
Naiki tangga di bukit terjal dengan kemiringan 80 derajat |
“Kisah ini
sejak zaman kami kecil memang sudah ada. Orang tua kami biasa cerita atau mendongengkannya.
Saya biasa diceritakan. Dulu ada bukunya. Buku ini karya nenek moyang kami zaman
dulu. Cuma sudah terbakar, jadi tidak bisa dilihatkan lagi kepada yang
muda-muda,” ujarnya.
Menurut dia, Raganayam
berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan Runti adalah perempuan. Mereka merupakan suami
istri. Bermukimlah mereka disebuah pondok sederhana. Seingatnya, seperti
dikisahkan, mereka tinggal diantara tingkat keenam dan ketujuh air terjun itu.
Selama tinggal disitu, mereka hidup dengan damai. Sampai suatu ketika keduanya
terlibat perseteruan atau cek cok soal rumah tangga. Lalu, si suami, Raganayam ini
pergi meninggalkan Runti seorang diri.
Sembari menyusuri
aliran air terjun itu, entah berapa jauh, dia sampai disebuah daerah yang
dinamakan Embaloh yang sekarang ada didaerah Kabupaten Kapuas Hulu. Tidak banyak
cerita apa yang dilakukannya didaerah tersebut. Hitungan hari, bulan dan tahun
terus berlalu. Raganayam tak juga kunjung kembali ke pondoknya. Runti merasa
sedih ditinggal suaminya itu dan menyesali perseteruan mereka.
Bertahun-tahun Runti
menunggu. Raganayam tak juga kembali. Ia semakin gelisah karena tak ada kabar
berita tentang sang suami. Ingin mencari, tapi tak tahu hendak kemana. Setelah berulang-ulang
kali berpikir, akhirnya ia melakukan cara yang tak biasa yakni memelet atau
mengguna-guna si suami melalui media air terjun itu.
Air terjun Gurong Maloh tingkat pertama |
Runti yang
penuh dengan harap suaminya kembali kemudian mengalirkan peletnya melalui air yang
dipercaya mengalir sampai ke daerah bagian hulu yakni Nanga Embaloh tadi. Dalam
beberapa waktu, usahanya membuahkan hasil. Suara gemuruh air terjun itu pun
akhirnya terdengar sampai ke telinga suaminya.
Mendengar
gemuruh air terjun itu, Raganayam tahu betul bahwa itu merupakan gemuruh air
terjun dimana tempatnya dulu meninggalkan Runti seorang diri. Gemuruh air itu terus
terus terdengar ke telinganya sampai akhirnya merasa terusik dengan suara itu.
Nah, suara gemuruh itu yang dipercaya warga setempat sebagai panggilan pulang
Runti kepada suami tercintanya.
Tak tahan
dengan suara gemuruh itu, Raganayam kemudian memutuskan untuk pulang menemui
istrinya yang sudah berpuluh tahun ditinggalkannya. Dengan menyusuri aliran
sungai, dia berjalan menelusuri jalur seperti saat dia dulu pergi. Beberapa
hari menempuh perjalanan, akhirnya sampailah Raganayam ini ke tempat
tinggalnya. Dia kemudian bertemu lagi dengan istrinya yang sudah menantinya
sejak lama.
Sepulangnya Raganayam,
mereka kembali hidup seperti dulu. Namun, sang suami masih risih dengan bunyi
gemuruh air tersebut yang seolah-olah masih memanggilnya. Dibagian air terjun
itu, dulunya ada batu yang menyerupai lidah. Dipercaya air yang jatuh dan
mengalir itulah yang membuat suara gemuruh. Raganayam kemudian memutuskan untuk
memotong batu yang menyerupai lidah tersebut dengan buluh temiang (bambu) yang
ada disekitar air terjun.
Aliran air terjun Gurong Maloh ditingkat kedua |
Lokasi air
terjun itu memang banyak ditumbuhi tanaman bambu liar. Sampai sekarang, lokasi
tersebut juga masih banyak ditumbuhi oleh tanaman bambu. “Bambu ini memang jadi
ciri khas didaerah situ.” Setelah batu lidah itu terpotong, suara gemuruh yang
disebut sebagai panggilan Runti tidak terdengar lagi.
Kembali hidup
bersama membawa berkah bagi mereka. Runti hamil dari hasil cinta mereka dan
melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Gemiluh. Cerita
mengenai Putri Gumiluh ini tidak banyak diketahui oleh para tetua warga disana.
Karena sejak Raganayam dan Runti memiliki anak, cerita kehidupan mereka nyaris
tidak pernah terdengar lagi.
“Lama kelamaan
tidak lagi terdengar cerita mereka sejak si bayi lahir. Tidak banyak yang
berhasil menemukan jejak mereka. Seperti hilang ditelan waktu. Apakah mereka
masih hidup disitu tetapi tak kasat mata atau sudah berpindah tempat tinggal,
kami juga tidak tahu,” ungkap orang tua yang lahir tahun 1937 ini.
Soal Gegasi,
seperti yang diceritakan Pak Dandan sebelumnya, Pak Pance menambahkan dulunya
dibebatuan air terjun itu (disekitar tingkat 5 atau 6) terdapat bekas jejak
kaki berukuran sangat besar. “Bisa mencapai dua atau tiga kali lipat ukuran
kaki manusia dewasa zaman sekarang. Bekas jejak kaki itu ditengarai sebagai Raganayam
atau Runti. Karena jejak itu sangat mirip dengan jejak kaki manusia yang berukuran
raksasa,” katanya.
Dipuncak, tingkat ketujuh air terjun Gurong Maloh |
Bekas jejak
kaki ini turut diamini sang kepala dusun yang pernah melihat langsung. Namun,
terakhir kali ke tempat itu (sebelum mengantarkan saya) sudah tidak terlihat
lagi bekas jejak kaki itu. Mungkin tertutup bebatuan bukit yang longsor dan
menimpa sebagian tempat itu. “Mungkin karena tertutup batuan yang longsor itu.”
Dari tempat
itu, meski tak dapat lagi mendengar cerita Raganayam dan Runti serta anaknya
Putri Gemiluh, namun masih ada sosok binatang yang disebut Macan. Binatang ini,
lebih mirip dengan anjing. Kelebihannya bisa memanjat pohon-pohon besar. Dari kedua
matanya memancarkan cahaya merah.
Binatang ini, menurut
ceritanya memakan tengkuyung di bebatuan air terjun. Hanya Nampak pada malam
hari. Kepala dusun menceritakan, beberapa tahun lalu ada warganya yang melihat pada
malam hari. Tubuhnya tidak lagi besar seperti ceritanya. Saat disenter, nampak binatang
itu dari balik hutan sekitar batu-batu yang berada di air terjun. Matanya mengeluarkan
cahaya merah.
Ngobrol dengan para tetua kampung Malan 1 |
Binatang ini,
kata orang dikampung ‘ngamik semangat.’ Mereka yang berjumpa dengannya akan
merasa tak berdaya. Tapi, lagi-lagi warga disana tak tahu jenis binatang apa
itu. Jika benar itu binatang seperti yang diceritakan dalam legenda, ukuran
tubuhnya sudah tidak sebesar dalam penuturan ceritanya. Sampai saat ini, belum
ada lagi yang menjumpainya di hutan tersebut. (*)
+ comments + 3 comments
Woww kereenn
saya asli orang kedukul asli gak pernah tau tentang cerita dan legenda ini ,hanya tau maloh aja begitu,dulu pernah kesana sewaktu saya kecil .lanjutkan mas ceritanya ..krennnnnnnn
ceritanya keren.saya bangga menjadi warga dsn. malan1
Post a Comment