Bau
menyengat itu berasal dari tumpukan-tumpukan gula rafinasi yang ada digudang
penyimpanan barang titipan. Aneh, tidak ada semut disana. Padahal semestinya
gula dan semut merupakan bagian tak terpisahkan. Untuk mencari tahu, saya coba menemui
Kepala Kantor Rumah Penitipan Barang Sitaan Negara (Rupbasan) Sanggau,
Sugiharto. Lalu, seperti apa penjelasannya.
Saat
saya tiba, pria yang biasa disapa Giarto ini sedang duduk di kursi ruang tunggu
tamu. Gadget yang ada ditangannya, sibuk diotak-atik. “Sore pak,” tegur saya.
“Ya, silahkan.” Saya kemudian masuk, mendekati beliau dan tak lupa berjabat
tangan. Saya lantas mengambil posisi duduk tidak jauh dari pria berdarah jawa
ini. Lama tak berjumpa, cara ngobrolnya yang blak-blakan masih tetap sama.
Membuat suasana sore itu mengalir apa adanya.
Sambil
santai, sesekali pembicaraan kami sedikit serius. Dengan gaya bicara
blak-blakan dan humor, pembicaraan kami menjadi tak membosankan. Dengan begitu
saya pun bisa sedikit demi sedikit bicara soal keingintahuan mengenai gudang penyimpanan
gula rafinasi yang kabarnya tidak pernah ada semutnya.
Tak
berselang lama, Pak Giarto kemudian mengajak saya menuju ke bagian belakang
bangunan Kantor Rupbasan melalui pintu samping. Saat itu kami berempat, selain
saya dan Pak Giarto, kami juga ditemani salah satu pegawainya, Syarifudin dan
satu orang lagi rekan saya. Ternyata, jarak gudang-gudang ini dengan bangunan
kantor tidak jauh. Hanya beberapa meter saja.
Dilokasi
itu, saya melihat ada dua bangunan gudang tertutup dan satu bangunan lagi
terbuka. Untuk gudang tertutup, satu merupakan bangunan satu lantai. Sementara
satu bangunan lagi berdiri dua lantai. Sedangkan yang dikatakan ‘gudang’
terbuka memang tidak dikelilingi dinding, tetapi ada atap untuk menghindari
panas matahari dan juga hujan.
Kami
langsung menuju bangunan dua lantai itu. Disamping bangunan itu terlihat
sisa-sisa karung dari gula rafinasi yang dimusnahkan beberapa waktu lalu. Pak
Giarto kemudian menyuruh Syarifudin membuka kunci pintu gudang tersebut.
Setelah dibuka, aroma tak sedap sudah mulai tercium. Aroma gula, itulah
pastinya. Tetapi saya tidak tahu harus menyebutkan aroma itu dengan sebutan
apa.
Didalam
ruangan itu rata-rata tumpukan gula. Itulah dia gula-gula rafinasi yang banyak
ditangkap aparat karena peredarannya dilakukan secara ilegal. Tanpa ada
dokumen-dokumen resmi yang menyertai pengangkutannya. Gula-gula ini dititipkan
ke Rupbasan Sanggau sampai dengan ada putusan pengadilan mengenai perkaranya.
“Kalau kasusnya lama, ya lama
disini,” ujarnya Kamis (18/2).
Selain
tumpukan gula, dibeberapa sudut ruangan gudang dua lantai yang dibangun tahun
2006 ini juga tersimpan minyak goreng. Ada juga beberapa karung beras. Tetapi
jumlahnya sedikit sekali. “Yang disini kebanyakan gula. Sama kayak digudang
satu lagi yang disana, itu gula juga,” katanya. Dulu, tambah dia, diruangan itu
penuh tumpukan gula. Saat ini sudah mulai berkurang karena sudah banyak juga
yang dimusnahkan.
Sambil
memanggil saya, Giarto menunjukkan bagian lantai yang rusak. “Tu loh liat lantainya udah rusak-usak.
Retak dimana-mana.” Salah satu sebabnya ternyata cairan dari tumpukan gula-gula
tersebut. Ruang tertutup dan suhu udara yang panas lama kelamaan membuat
gula-gula ini mencair dan jatuh ke lantai. Dia memastikan tidak ada semut
disini. “Justru disini nda ada semut.
Coba jak cari kalau nda percaya.”
Dia
awalnya juga heran, mengapa bisa demikian. Kemungkinannya, kandungan gula-gula
rafinasi ini memang tidak sebaik gula lokal di Indonesia. Dia berpikir, mungkin
hal ini juga yang menyebabkan gula rafinasi ini dilarang untuk dikonsumsi
masyarakat. Karena memiliki efek yang berbahaya bagi manusia. “Mungkin begitu.
Jadi semut pun nda mau dekat.”
Beberapa
tahun lalu, kata dia, jumlah tumpukan gula cukup banyak. Dilantai banyak sekali
cairan gulanya. Dia kemudian membuat lantai kayu untuk menghindari kerusakan
lantai gudang tersebut. Memang sempat ada terlihat semut, tetapi jumlahnya
tidak banyak. Dan semut-semut itu kemudian mati. “Dulu banyak sekali semut yang
mati disini. Nah sekarang malah tidak
ada,” ujarnya.
Kerusakan
lantai digudang itu, selain karena gula yang mencair, juga disebabkan karena
terjadinya banjir beberapa waktu lalu. Ditambah dengan struktur tanah yang
labil. Tiga faktor ini saling menguatkan, sehingga jumlah retakan lantai
semakin besar dan banyak.
Saya
pun tak sungkan menanyakan soal biaya perawatan untuk-gudang tersebut setiap
tahunnya. Tanpa basa-basi, dia bilang kalau dana untuk perawatannya ada setiap
tahun. Tetapi dia enggan menyebutkan nominalnya. Untuk anggaran perbaikan, dia
mengakui bahwa sejauh ini memang belum ada. “Perbaikan belum ada. Kalau rusak yang kecil-kecil
kita benahi sesuai kemampuan,” katanya.
Terkait
kendala yang masih dihadapi, Giarto bilang secara umum cukup. Hanya saja, dia
masih memikirkan perluasan tempat penyimpanan barang titipan ini. Karena
seperti yang terlihat kemarin, lokasinya sudah sangat sempit. Satu lagi, ujar
dia, belum ada tempat untuk menyimpan barang titipan seperti bahan bakar. Saat
ini, bahan bakar yang dititipkan terpaksa disimpan diluar ruangan.
“Yang
diperlukan memang untuk bahan bakar minyak. Jadi sementara disimpan di tempat terbuka.
Perawatan barang titipan ini paling tidak dilakukan dua minggu sekali. Biaya
perawatannya setiap tahun hanya sebesar Rp12 juta dengan kondisi barang titipan
yang semakin tahun semakin banyak,” ungkapnya seraya mengatakan untuk gula saja
ada sekira 1500an karung.
Sambil
berjalan menuju kembali ke ruangan depan, kami masih saling berbincang mengenai
sejumlah hal. Sampai diruangan depan, jam sudah menunjukkan pukul 16.30. Saya
kemudian mohon diri kepada Pak Giarto.
Sebenarnya
masih banyak hal yang ingin saya tanyakan kepadanya. Namun, keterbatasan waktu
membuat saya harus segera beranjak dari hadapannya. Saya kemudian berpamitan
dan menyalaminya untuk kemudian meninggalkan Pak Giarto dan Pak Syarifudin yang
mengantarkan saya sampai pintu depan kantornya. (*)


Post a Comment