![]() |
| Oleh Sugeng Gondrong |
ALIENASI sebagai gambaran tentang kondisi keterasingan individu terhadap alam,
masyarakat, dan dirinya sendiri, dimana tindakan manusia tidak berdasar pada
kebebasan otonomi individunya, melainkan pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. (Erich Fromm, 1955: 136-137)
Menurut Giddens
(2005) agama adalah media pengorganisasian bagi kepercayaan yang tidak sekedar
satu arah. Bukan hanya iman dan kekuatan religius yang menyediakan dukungan
yang secara takdir dapat dijadikan sandaran. Demikian juga para fungsionaris
keagamaan, yang terpenting adalah bahwa kepercayaan religius biasanya
menginjeksikan reliabilitas ke dalam pengalaman berbagai peristiwa dan situasi dan dari suatu kerangka
Agama juga disinonimkan dengan Religion berasal dari kata Latin “religio”,
berarti “tie-up” dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged
‘God’ atau ‘The Sacred Power’.
Secara umum di Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan,
tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual
yang saling ditukarkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi
dalam tradisi.
Berangkat dari beberapa pemahaman diatas, dapat ditarik beberapa point
tentang pengertian agama bahwa agama adalah kodifikasi kepercayaan, praktik
ibadat, hukum etika, keanggotaan denominasi, eksternal dan memasukkan spiritualitas di dalamnya.
Penegasan yang ingin ditekankan pada pemahaman keagamaan disini adalah
bahwa konsekwensi pemahaman keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific
justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting
agama dalam relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial.
Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity
dan gender bias, excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia.
Modernitas dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai
positif dapat terlihat apa yang dianggap ghaib dan tidak mungkin di masa silam
menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan ekses negativenya terlihat
ketika ilmu pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak segera puas pada satu penemuan
saja. Pertumbuhan bangun ilmu pengetahuan dan ideologipun terus menjamur,
selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan dan idelogi yang
baru.
Lingkaran ketidakpastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis –
empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya
adalah manusia ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya
sendiri dengan lahirnya masalah baru yang lebih kompleks.
Dalam menghadapi kegundahan manusia era modern tingkat lanjut seperti
sekarang ini, pemahaman keagamaan perlu ditransformasikan sehingga dapat
memenuhi harapan esensial dari ajaran agama itu sendiri dalam menyumbangkan
sesuatu yang menyejukkan, menenteramkan dan bukan menjadi sumber keruwetan.
Ummat beragama juga perlu memahami bahwa fenomena-fenomena agama selain
melibatkan wahyu, juga lengket dengan fenomena cultural, tradisi, adat
istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya.
Peradaban modern cenderung menawarkan kemewahan, konsumerisme, dan hedonisme.
Manusia pun hidup dalam kesibukan mengejar kenikmatan dan kemewahan tersebut,
yang sering kali justru menodai nilai-nilai luhur kemanusiaan. Lalu,
bagaimana peran agama di tengah krisis kemanusiaan modern?
Sejak lama agama
diyakini memiliki seperangkat doktrin yang dapat memberikan solusi bagi
kehidupan manusia. Pada masa awal kemunculannya, setiap agama mengalami
pergulatan dengan problem sosial.
Krisis sosial dan kemanusiaan adalah sebab yang sering kali melatari
munculnya agama sebagai suatu gerakan kritis. Peran Islam dalam konteks problem
kemanusiaan dapat ditemukan pada ajaran-ajaran Tasawuf (mistisisme Islam), yang
menawarkan keberagamaan esoterik (batiniyah) dan substantif.
Dalam politeisme —terutama paganisme, yakni penyembahan kepada berhala—
manusia tidak memandang patung sebagai hasil karya manusia, melainkan sebagai
sesuatu yang terpisah dan independen dari manusia (pembuatnya).
Patung yang sebenarnya merupakan ukuran dari keistimewaan manusia sebagai
makhluk yang dapat mencipta —dalam batas tertentu— justru diletakkan sebagai
sesuatu yang lebih tinggi dari manusia.
Dalam konteks seperti ini manusia, sebagai pembuat patung, telah
teralienasi dari ciptaannya sendiri. Patung tidak lagi dihayati sebagai hasil
usaha produktif manusia, melainkan sebagai suatu sesembahan di mana manusia
merendahkan diri kepadanya.
Marx telah memperkembangkan teori alienasi untuk mendedahkan aktiviti
manusia yang terletak di sebalik kuasa-kuasa, tidak pribadi yang menguasai
masyarakat. Dia telah menunjukkan bagaimana, walaupun aspek-aspek masyarakat
yang kita menginapi kelihatan seperti semula jadi dan bebas dari pada manusia,
ia sebenarnya merupakan hasil tindakan-tindakan manusia pada masa yang lalu.
Bagi seorang Marxsis dari Hungari bernama Georg Lukács, teori Marx
“meleburkan wajah pertubuhan-pertubuhan sosial yang kaku, tidak bersejarah dan
semulajadi; ia mendedahkan punca-punca bersejarah mereka dan maka menunjukkan
bahawa ianya tertakluk kepada sejarah dari setiap segi termasuk kemunduran
bersejarah.”
Marx bukan saja menunjukkan bahawa tindakan manusia pada masa lalu telah
menciptakan dunia modern, tetapi juga bahwa tindakan manusia dapat membentuk
masa depan yang bebas dari percanggahan-percanggahan kapitalisme.
Marx telah mengembangkan teori materialis mengenai cara umat manusia
dibentukkan oleh masyarakat, tetapi juga bagaimana mereka dapat bertindak untuk
mengubah masyarakat tersebut, bagaimana manusia adalah “ditentukan oleh dunia”
dan pada masa yang sama “menghasilkan dunia.”
Bagi Marx, alienasi tidak terbenam dalam minda atau dalam agama, seperti
yang dikatakan oleh pendahulu-pendahulunya seperti Hegel dan Feuerbach.
Sebaliknya, Marx memahami alienasi sebagai sesuatu yang terbenam dalam dunia
materialis.
Marx menentang
idea biasa bahwa manusia mempunyai sifat tetap yang wujud secara bebas daripada
masyarakat di sekeliling mereka. Dia menunjukkan bahwa kebanyakan ciri-ciri
yang dikatakan dipunyai oleh sifat manusia yang tidak berubah sebenarnya
berbeda dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda. Namun, Marx tidak menolak
idea sifat manusia sendiri.
Dia memperdebatkan bahwa keperluan untuk berusaha pada alam sekitar untuk
memenuhi keperluan-keperluan manusia merupakan satu-satunya ciri yang serupa
dalam setiap masyarakat, “keadaan kontinyuitas yang ditekankan oleh alam
sekitar bagi kewujudan manusia.”
Berusaha pada
alam sekitar bukan saja mengubah dunia, tetapi juga orang itu. Marx seringkali
mengukuhkan idea ini, seperti dalam petikan berikut dari Kapital: “Dengan
bertindak pada dunia luar dan mengubahkannya, dia pada masa yang sama
mengubahkan sifatnya sendiri.
Dia memperkembangkan kuasa-kuasa yang tidur selama ini dan memaksanya untuk
bertindak secara jinak mengikut arahannya.” Maka, tenaga pekerja adalah proses
dinamik melalui masa manusia mengubahkan dan membentukkan dunia. Marx menamakan
kemampuan kita bagi usaha sedar sebagai “kewujudan spesis.”
Ambruknya
ideology raksasa seperti kapitalime yang terbukti dangkal dalam menuntaskan
masalah kemanusiaan bahkan melahirkan berbagai patalogi sosial, memberikan
peluang sekaligus tantangan bagi pendekatan keagaman dalam wacana keilmuan
terutama pekerjaan sosial untuk dapat memberikan jalan alternative terhadap
kemajuan peradaban dalam bingkai nilai-nilai universal religius yang humanis ,
demokratis dan berkeadilan.
Konsekwensi
pemahaman keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific justru akan
memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting agama dalam
relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial.
Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity
dan gender bias, excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia.
Bahwa baik
pendekatan keagamaan maupun moderen yang tidak diintegratif dan saling bekerja
sama, dapat menuai kegagalan dalam praktek pekerjaan sosial. Dengan kata lain,
baik Pengetahuan rasionalis (bi-logical) dan spiritual serta pendekatan
keagamaan yang tercerai berai dan cenderung saling mengalienasi sama-sama
berpotensi untuk gagal. Demikian uraian yang singkat ini, semoga bermanfaat
dalam mempelajari problem aliensi yang banyak terjadi pada masyarakat modern
saat ini.
**



Post a Comment