MEGA AYU PRIANSISKA, begitu nama lengkapnya. Perempuan kelahiran tahun 1995 ini berhasil
mewujudkan mimpinya studi ke luar negeri, tepatnya di Australia. Mengambil
jurusan Bussiness Management di Cambridge Collage International, si sulung
bahkan tak malu sambil bekerja untuk bertahan hidup.
Sambungan telepon siang itu, langsung dari
Australia. Tak pikir panjang, saya langsung memperkenalkan diri kepadanya. Dari
caranya menyapa, dia juga terbilang sangat ramah menyapa saya meski belum
pernah sekalipun bertemu muka. “Saya studi di Cambridge College International
bang, ambil Bussiness Management. Minta doanya supaya berhasil studi. Paling
tidak ada anak dari Sanggau yang berhasil studi disini,” katanya.
Mega, begitu dia dipanggil, tanpa sungkan
dia membenarkan kalau dirinya memang sambil bekerja selama menempuh pendidikan
di Australia. Dia tidak minder, juga tidak merasa menjadi lebih hebat atau
hidup elit. Dia bahkan juga biasa kerja ditempat Laundry dengan bayaran yang
lumayan.
“Disini biaya hidup tinggi bang. Apalagi
orang tua saya hanya berjualan gorengan. Abang kan sudah lihat kondisi rumah
dan orang tua saya seperti apa. Kalau saya tidak bekerja disini, atau saya
hanya mengandalkan dari biaya yang dikirim oleh orang tua pasti tidak akan
cukup. Hasil kerja, kalau ada lebih ya saya sisihkan,” ceritanya.
Dulu, lanjut dia, memang tidak menyangka
bisa sampai di Australia. Awalnya dia akan diajak oleh orang tua angkatnya ke
Australia, tetapi setelah selesai sekolah. “Dari situ saya punya motivasi kuat
untuk kesana. Dan Alhamdulillah saya sudah menjejakkan kaki di Australia. Ini
saya memasuki tahun kedua disini,” ungkapnya.
Mega tidak menampik, usaha dan doa memang
selalu dilakukan sampai akhirnya cita-cita sejak SMA sudah berhasil diraihnya.
“Setiap kita punya kesempatan yang sama bang untuk sukses. Hanya saja,
tergantung usaha kita mewujudkannya. Dan jangan lupa doa,” ujarnya.
Saya kemudian coba menemui kedua orang
tuanya disebuah rumah kontrakan tidak jauh dari RSUD Sanggau. Rumah dan
tempat berjualan gorengan yang ditempati Supriyono, 47 tahun (orang tua Mega),
siang itu terlihat biasa saja. Rumah kontrakan itu sudah ditempatinya selama 8
tahun terakhir. Pria asal Banyuwangi, Jawa Timur ini juga tidak pernah
bermimpi, dari rumah seadanya dan usaha gorengan itu, dia berhasil
menyekolahkan anaknya sampai ke Australia.
Lelah, sudah pasti. Itu bisa terlihat dari
raut wajahnya. Siang itu, didapur rumahnya, dia sedang membuat adonan untuk
berjualan gorengan. “Walah mas sampai ke dapur.” Ditemani istri tercinta,
Kasiyati, dia mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan dagangan gorangannya.
Sesekali dia menyeka keringat. Saya
kemudian dipersilahkan duduk untuk berbincang-bincang dengannya. Dibenak saya
terlintas beberapa pertanyaan yang sudah dipersiapkan sejak awal terutama
mengenai keberhasilan dia menyekolahkan si sulung, Mega Ayu Priansiska sampai
ke Negeri Kangguru, Australia.
“Ayo kita ke warung depan mas,” ajaknya.
Saya pun bergegas mengikuti langahnya menuju tempat berjualan Supriyono. Diatas
meja sudah terhidang kopi dan gorengan. Ada tahu goreng, tempe goring dan
pisang goring. Semuanya disajikan dengan piring kaca berwarna putih.
“Memang saya salut dengan kemauan anak saya
sekolah ke luar negeri,” ujarnya membuka cerita. Waktu itu, ingat dia, saat
masih SMA kelas X, anaknya itu pernah menyampaikan keinginannya studi keluar
negeri kepada kedua orang tuanya. Tetapi saat itu, orang tua justru tidak
terlalu yakin dengan keinginan anaknya itu.
“Saya awalnya ndak yakin. Wong, orang
tuanya hanya jual gorengan begini,” katanya sambil sesekali menghisap rokok
ditangannya.
Namun, dia tidak mengecilkan niat anaknya
itu. Diam-diam dia mulai menabung sedikit demi sedikit dari hasil berjualan
gorengan setiap hari. “Saya paksa nabung loh mas. Sedikit-sedikit. Mana tahu
beneran jadi,” ujarnya.
Sejak itu, dia melihat anaknya berusaha
dengan giat. Terutama mengasah kemampuan berbahasa asing. “Dia ikut les, ikut
kursus sampai saya sendiri lihat waktu dia mengajari adiknya kalau ada tugas
bahasa inggris,” ungkapnya.
Melihat anaknya semakin mahir berbahasa
inggris, dia semakin yakin bahwa anaknya ini punya kesungguhan ingin ke luar
negeri. “Makanya berapapun hasil tiap hari saya sisihkan untuk menabung. Siapa
tahu cita-cita anak saya ini terwujud,” ujar dia.
Beberapa kali perbincangan kami terhenti
karena dia harus bolak balik ke dalam rumah mengambil peralatan dapur. Saat
ini, dia punya dua karyawan. Meski begitu, dia juga kerap kerepotan kalau
pembeli sedang ramai. “Ginilah mas, kadang keteteran kalau pembelinya ramai,”
lanjut Supriyono yang punya omset Rp3,5 juta perhari.
Supri, begitu dia dipanggil, kemudian
melanjutkan ceritanya yang sempat terputus. Anak sulungnya itu sejak SD sampai
SMA, bersekolah di Kota Sanggau saja. Untuk urusan prestasi, Supri menyebutnya
biasa-biasa saja. “Prestasi sih biasa saja mas. Kalau prestasi sepuluh besar
masih diraih. Tapi ya tidak sepintar anak-anak lainnya,” katanya.
Keyakinan anaknya semakin kuat ketika telah
masuk kelas XII. Dari situ, dia kemudian mempersiapkan sekuat tenaga demi
keberhasilan anaknya itu. Begitu menamatkan SMA, anaknya kemudian mendaftar ke
sebuah perusahaan yang memiliki link kuliah di Australia.
Anaknya mendaftar, ikut tes dan harus
mengikuti sertifikasi bahasa asing untuk 50 jam dengan biaya Rp5 juta. Tetapi
memang mungkin sudah nasibnya berangkat ke Australia, anaknya lulus setelah
mengikuti sesi interview dengan utusan dari Australia. “Alhamdulillah lulus
mas. Waktu itu anak saya baru ikuti 30 jam. Jadi waktu itu tidak sampai 50 jam.
Hanya 30 jam saja dan lulus,” kenang dia.
Begitu si sulung lulus dan siap diberangkatkan,
Supri mulai bingung soal biaya. Namun dia tetap berusaha. Karena waktu harus
deposit tidak kurang dari Rp300 juta. “Kemana cari uang segitu mas.”
Sudah terlanjur, dia terpaksa meminjam
dana. Setelah dana siap, dia sempat bolak balik menguruskan persyaratan
administrasi keberangkatan anaknya di Jakarta selama beberapa pekan. “Gimana
lagi mas, demi anak,” ujar pria berdarah jawa ini.
Setelah semua persyaratan siap, pada tahun
2014 dibulan Oktober, anaknya berangkat untuk menempuh studi di Cambridge
College International di Sydney, Australia selama dua setengah tahun. “Campur
aduklah mas perasaan saya. Senang sudah pasti,” ujarnya Senin (4/1) kemarin.
Istrinya, Kasiyati menggambarkan sosok
anaknya itu sebagai pekerja keras. Meski sudah lelah sekolah, dia kerap
membantu kedua orang tuanya sampai selesai berjualan. “Kadang dia juga melayani
pembeli. Kadang bantu menggoreng. Gitulah dia, saya lihat memang jarang diam,”
kata sang ibu.
Sejak studi ke Australia, baru pada Oktober
2015 lalu anak sulungnya itu pulang ke Sanggau. “Pulang dari sana (Australia,
red) ya dia bantu saya sama bapaknya jualan. Ndak dia gengsi atau malu,”
ungkapnya.
“Bapak sama ibu sudah pernah ke Australia,”
tanya saya pada mereka. “Belum” kata sang ayah. Keduanya memang berkeinginan
sesekali melihat anaknya disana, tetapi entah kapan. Mereka hanya berdoa semoga
anaknya itu bisa menyelesaikan studi dengan baik disana dan segera kembali ke
Indonesia sebagai anak yang sukses. (*)



Post a Comment